Oerip Soemohardjo


Hasil gambar untuk urip sumoharjo
Oerip Soemohardjo dalam gambar

Sumber : https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjkQ4s21fOi7hmwXhZJT9hkKZLJbV5qTu54Xs1jOPdwcq7FgCOez0YYbYv7dG4ijUEnZDCcnC0Mf590JiCjUztAusQMpaOuwBefwhbEpSSjCWPeIs25WRArWVuxjYX9d_-PGlOAaDNa2uQ/s1600/Urip+Sumoharjo.jpg

Berbicara sejarah Militer Indonesia tentu tidak lengkap rasanya apabila kita tidak membahas mengenai Oerip Soemohardjo. Seorang tokoh pendiri militer Indonesia. Ia dikenal juga sebagai Bapak TNI bersama Jenderal Soedirman. Ia yang merupakan seorang tokoh yang sangat menganjurkan kepada pemerintah Soekarno dan Hatta untuk segera membentuk badan ketentaraan dengan kata- kata cukup terkenal “ Aneh Suatu Negara Zonder Tentara” sebuah kalimat yang mengisyaratkan bahwa Indonesia harus segera memiliki tentara setelah merdeka.
Berikut ini akan diuraikan mengenai jejak Oerip Soemohardjo dari mulai masa muda, masa berdinas di KNIL hingga masa Indonesia merdeka dan ketika ia menjabat sebagai kepala Staf Umum TKR.

Masa Muda
Oerip lahir di Purworejo pada 23 Februari 1893[1] dengan nama kecil Muhammad Sidik. Sejak muda ia dikenal sebagai pemuda yang disiplin. Ia kemudian memasuki sekolah Pamong Praja ( OSVIA) yang berada di Magelang namun hal ini hanya dijalani sebentar karena ia kemudian berubah minat ingin menjadi seorang tentara. Pada tahun 1910 Oerip mendaftar dan masuk pada sekolah Militer KNIL di Meester Cornelis atau yang lebih dikenal dengan Inlandsche Officeren School ( Sekolah Opsir Pribumi). Sekolah ini diperuntukan untuk mencetak seorang perwira di Hindia- Belanda. Lembaga pendidikan ini mulai berdiri sejak 1852 namun baru abad ke-20 orang- orang pribumi boleh memasuki sekolah ini.[2]
Orang- orang pribumi yang memasuki sekolah ini juga harus memenuhi beberapa pesyaratan salah satunya adalah memiliki ijazah MULO dan HBS serta lulusan dari OSVIA. Oerip termasuk salah satu dari lulusan OSVIA sehingga dengan mudah dapat mendaftar pada sekolah militer Meester Cornelis. Sekolah ini mendidik para kadetnya selama 3 tahun setelah itu ada pendidikan lanjutan untuk para perwira yang telah lulus agar statusnya sama dengan lulusan KMA Breda. Pada tahun pertama para kadet diajarkan baris berbaris, olahraga fisik, hingga menembak dengan kualifikasi senapan dan pistol. Tahun kedua diajari taktik pertempuran dan tahun ketiga adalah ujian akhir dari seluruh pelajaran jika berhasil mereka akan dinyatakan lulus. Pada 24 Oktober 1914, Oerip Soemohardjo, Sugondo dan Bagus Sudjono lulus dari sekolah militer ini dan kemudian Oerip menyandang pangkat Letnan Dua[3].

Masa Hindia- Belanda 1916- 1942
Setelah Oerip menjadi Letnan Dua, ia ditugaskan di luar Pulau Jawa tepatnya di Banjarmasin. Bagi Oerip hal ini bukan masalah karena ia memang seseorang yang suka berpetualang.  Pada saat bertugas di Banjarmasin inilah Oerip menentang diskriminasi yang ada dalam kalangan tentara KNIL. Salah satunya adalah dengan melarang sebuah muntik (kereta api kecil) untuk beroperasi di Banjarmasin. Hal ini dikarenakan ada sebuah peraturan bahwa orang- orang pribumi jika akan berpergian tidak boleh menaiki muntik tersebut[4]. Akibat dari peraturan rasis tersebut, kemudian Oerip mengambil tindakan dengan melarang muntik tersebut beroperasi sampai ada ketentuan bahwa peraturan rasis tadi dicabut. Serdadu KNIL Belanda kemudian memperotes tindakan Oerip bahkan banyak juga petinggi Oerip yang memprotes tindakan tersebut. Namun Oerip tidak bergeming dengan keptusan tersebut dan sebagai komandan, justru telah meraih simpati dikalangan prajurit KNIL pribumi bahkan tindakannya ini didukung oleh Kementerian peperangan Hindia- Belanda di Bandung.
Kejadian kedua adalah pada saat perayaan ulang tahun Ratu Belanda pada 31 Agustus dimana setiap perwira berhak mengunjungi Kamar Bola (Perkumpulan para perwira yang ada di asrama militer) pada saat itu atasan Oerip tidak melihat Oerip dalam kamar Bola dan ketika ditanya Oerip hanya menjawab bahwa saya bukanlah seorang anggota kamar Bola karena hanya orang Eropa yang boleh menjadi anggota. Masalah itu kemudian ditindaklanjuti perwira tersebut kemudian memarahi para senior Oerip karena masih menganut diskriminasi abad 19 dan kembali Oerip meraih simpati dari kalangan prajurit KNIL Pribumi[5].
Dari 2 kejadian itu dapat disimpulkan bahwa Oerip Soemohardjo semasa berdinas sebagai perwira KNIL telah menunjukan sifat-sifatnya yang berbeda dimana ia sebagai perwira KNIL pribumi telah mampu menentang ras diskriminasi dalam tubuh KNIL bahkan bagi beberapa prjaurit KNIL pribumi Oerip dianggap sebagai pahlawan karena mampu membela kepentingan mereka.
Masa Pendudukan Jepang 1942-1945
Pada masa ini, Oerip menghindar dari kerja sama dengan pemerintahan militer Jepang. Pada masa ini pula Oerip menjalani hidup sebagai masyarkat biasa dengan tinggal di Kampung Getaran Utara Yogyakarta. Pada masa pendudukan Jepang, Oerip sering didatangi oleh mantan perwira KNIL salah satunya adalah A.H. Nasution. Baik Oerip maupun Nasution sering memperbincangkan masalah kedatangan pendudukan Jepang ke Indonesia.sebagai seorang Jawa,Oerip sangat mempercayai ramalan Joyoboyo bahwa pendudukan militer Jepang di Indonesia tidak akan berumur panjang dan Indonesia akan meraih kemerdekaannya. Sementara itu, apabila Indonesia telah merdeka maka Indonesia harus segera memiliki militer yang kuat, solid dan profesional untuk melindungi bangsanya dari ancaman dalam negeri maupun luar negeri.

Masa Indonesia Merdeka 1945- 1948
Setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, kebutuhan akan adanya sebuah tentara untuk melindungi bangsa yang baru merdeka sangat diperlukan. Untuk itu presiden Soekarno mengeluarkan maklumat pembentukan tentara pada 5 Oktober 1945. Setelah itu Soekarno menugaskan Oerip sebagai Kepala Staf TKR untuk menyusun organisasi TKR dan menata organisasi yang baru berdiri. Sebagai kepala staf TKR, Oerip kemudian menyusun beberapa struktur penting dalam militer Indonesia antara lain :
1)      Membentuk Markas Besar tentara di Yogyakarta dengan pimpinan terdiri atas Staf Umum Markas Besar Tentara
2)      Membentuk Komandemen militer pada setiap daerah di Indonesia. Komanndemen yang telah berhasil dibentuk antara lain : Komandemen Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sumatera. Komandemen komandemen ini merupakan cikal bakal dari pembentukan tentara teritorium yang kemudian hari berubah menjadi KODAM.[6]
Sekalipun markas besar tentara sudah dibentuk, para prajurit TKR tersebut belum merasa adanya seorang pimpinan dalam tentara. Untuk itu, atas usul Oerip Soemohardjo diselenggarakan Konferensi TKR pertama di Yogyakarta pada 12 November 1945 dengan agenda acara utama yaitu memilih seorang panglima. Semua mantan tentara baik itu dari KNIL, PETA dan kelaskaran yang baru dibentuk diundang dalam acara itu.
Konferensi kemudian menetapkan Soedirman sebagai Panglima Tentara dan Oerip Soemohardjo sebagai Kepala Staf TKR dengan tugas utama untuk menata organisasi tentara sementara Soedirman bertugas untuk mengkonsolidasikan tentara yang baru saja terbentuk. Pada masa ini Oerip termasuk kalangan kelompok perwira pembaharu yang ingin menjadikan tentara sebagai organisasi yang solid, profesional dan modern. Oerip beserta kawan- kawan dari KNIL dan KMA seperti A.H. Nasution, T.B. Simatupang, Soerjadarma, Didi Kartasasmmita, Alex Kawilarang dan Hidayat Maartaatmadja[7] merasakan adanya keprihatinan mengenai banyaknya laskar- laskar yang terdapat dalam tentara serta sulit untuk dikendalikan oleh markas besar dan pimpinan pusat tentara. Untuk itu diadakan beberapa rencana agar tentara dapat dibentuk secara profesional yaitu :
A)    Mengadakan program Re- Ra ( Reorganisasi dan Rasionalisasi) yaitu menata jumlah pasukan yang ada serta mengurangi jumlah pasukan yang tidak sesuai dengan kualifukasi sebagai seorang militer. Tugas ini dijalankan oleh Kolonel Abdul Harris Nasution[8]
B)    Membentuk perkumpulan Ilmu Perang (Yudhagama) untuk menentukan strategi yang cocok untuk diterapkan militer Indonesia dalam menghadapi Belanda. Tugas ini dijalankan oleh T.B. Simatupang[9]
C)    Membentuk lembaga pendidikan militer atau yang kita kenal sekarang adalah Akademi Militer. Tugas ini dijalankan langsung oleh Oerip Soemohardjo selaku Kepala Staf Tentara.[10]
Oerip Soemohardjo kemudian menugaskan Mayor Jenderal Suwardi seorang lulusan KMA Breda pada 1930 sebagai Direktur dan seangkatan dengan Didi Kartasasmita. Lembaga ini kemudian bernama Militer Akademi Yogyakarta atau biasa juga disebut Akademi militer Yogya pada 1948. Akademi Militer Yogya ini mendidik taruna sebanyak 442 dan yang lulus kemudian hanya 197[11] orang. Lulusan pertama Akademi Militer Yogya ini diantaranya adalah :
-          Soesilo Sudarman yang Kemudian menjabat Menko Polhukam
-          Himawan Soetanto yang kemudian menjabat Pangdam Siliwangi
-          Sayidiman SoerjohadiProdjo yang kemudian menjabat Gubernur Lemhannas
Pembentukan Akademi Militer ini adalah sebuah langkah penting sebagai cikal bakal untuk membentuk para perwira profesional. Pada 18 September 1948 terjadi pemberontakan PKI Madiun 1948 yang dilakukan oleh Laskar Pesindo dan Batalyon Soedigdo. Munculnya pemberontakan Madiun diakibatkan karena adanya laskar- laskar bersenjata serta adanya kesatuan TNI yang memiliki ideologi kepartaian dan bukan setia kepada ideologi negara sehingga hal inilah yang melatarbelakangi Oerip untuk mendirikan lembaga pendidikan militer yang disebut Akademi Militer untuk menjauhkan militer dari ideologi yang bertentangan dengan negara.
Simpulan
Oerip Soemohardjo adalah seorng perwira pembaharu dalam militer Indonesia ketika militer Indonesia baru saja terbentuk. Ia seorang militer profesional yang sangat disiplin dalam menjalankan tugas. Dalam upaya membentuk militer profesional, Oerip mendirikan Akademi Militer Yogyakarta pada 1948 untuk mencetak para perwira Indonesia yang brilian. Lembaga pendidikan militer ini adalah cikal bakal lahirnya Akademi Militer Magelang dengan tujuan utama yaitu menjauhkan para perwira militer dari paham atau ideologi partai. Seorang perwira militer hanya setia kepada ideologi negara dan bangsa.


Catatan akhir :
 [1] Lihat Dalam buku J.B. Soedarmanta, Jejak- Jejak Pahlawan Perekat Kesatuan Bangsa Indonesia,(Jakarta : Grasindo, 2007) Halaman 109
[2] Perhatikan Dalam Buku Petrik Matanasi, Sejarah Tentara, ( Yogyakarta : Narasi, 2011) Halaman 37
[3] Ibid Halaman 39
[4] Ibid Halaman 46
[5] Ibid Halaman 47
[6] Lihat Dalam buku Himawan Soetanto, Yogyakarta 19 Desember 1948 Jenderal Spoor operatie Kraai Versus jenderal Soedirman Perintah Siasat Nomor 1, (Jakarta : Gramedia Pustaka utama, 2006) Halaman 15-18
[7] Perhatikan Gagasan para perwira Pembahru Dalam Buku David Charles Anderson, Peristiwa Madiun 1948 Kudeta atau Konflik Internal Tentara ?, ( Yogyakarta : Media Pressindo, 2003) Halaman 11
[8] Ibid Halaman 14
[9] Lihat Pembentukan Yudhagama Dalam buku Himawan Soetanto, Yogyakarta 19 Desember 1948 Jenderal Spoor Operatie Kraai Versus Jenderal Soedirman Perintah Siasat Nomor 1, ( Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006) Halaman 176. Yudhagama kemudian berubah menjadi Dewan Siasat Militer
[10] Perhatikan Dalam Buku Petrik Matanasi, Sejarah Tentara, ( Yogyakarta: Narasi, 2011) Halaman 145
[11] Perhatikan Buku Himawan Soetanto, Yogyakarta 19 Desember 1948 Jenderal Spoor Operatie Kraai Versus Jenderal Soedirman Perintah Siasat Nomoor 1, ( Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2006) Halaman 271



DAFTAR PUSTAKA

Anderson, Charles David. 2003. Peristiwa Madiun 1948 Kudeta Atau Konflik Internal Tentara ?. Yogyakarta : Media Pressindo
J.B. Soedarmanta. 2007. Jejak- Jejak Pahlawan Perekat Kesatuan Bangsa Indonesia. Jakarta : Grasindo
Matanasi, Petrik. 2011. Sejarah Tentara Munculnya Bibit Militer di Indonesia Masa Hindia- Belanda Sampai Awal Kemerdekaan Indonesia. Yogyakarta : Narasi
Soetanto, Himawan. 2006. Yogyakarta 19 Desember 1948 Jenderal Spoor Operatie Kraai Versus Jenderal Soedirman Perintah Siasat Nomor 1. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama

Penulis : Zulfikri Aliansyah Rojali, S.Hum, ( Danyon Menwa Yon II Unpad Periode 2015 - 2016 )






1 komentar:

RESIMEN MAHASISWA DI PERSIMPANGAN JALAN, MAU DIBAWA KEMANA?

Hasil gambar untuk menwa unpad
Sumber : https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgnbijYlQCue4OeOSQ-eOZmuaYK8MW87pv927YqyzEBvsqmCjJthZMVp7CM9eLLm-HGrDi8ThLL3htdLbjERw5j15hki3_aJ6Nx_23829VAzQXEuiz3stVYZ6wrUK-_C0-D-wvC7el13zU/s1600/andi+menwa.jpg
Menwa Dulu
Pada awalnya Resimen Mahasisawa adalah organisasi para-militer yang didirikan di dalam kampus. Memiliki kemampuan seperti militer aktif pada umumnya dan pada masanya efektif digunakan sebagai cadangan pertahanan di daerahnya masing-masing. Di Jawa Barat Resimen Mahasiswa menjadi salah satu tumpuan untuk mempertebal kekuatan Tentara aktif guna mempertahankan home front Jawa Barat dan sekitarnya dari ancaman fisik dan separatisme kelompok yang ingin memisahkan atau merubah ideology negara Pancasila. Sejarah mencatat kontribusi Resimen Mahasiswa pada masanya mampu memadamkan pergerakan-pergerakan yang inkonstitusional dan cenderung maker. Kemampuan Resimen Mahasiswa bisa dikatakan setara dengan organik TNI, kemampuan Paratroops, Demolisi, penggunaan berbagai macam senjata laras penjang, pendek, senapan mesin sampai granat termasuk kemampuan intelijen strategis di miliki oleh para anggotanya yang menjadikan satuan Resimen Mahasiswa bisa dikatakan tidak kalah elite dengan satuan organik  pada zamannya. Palagan perjuangan Resimen Mahasiswa juga bukan tempat yang sealakadarnya, medan Trikora dipedalaman Kalimantan, wilayah rawan Timor-timor sampai penugasan pasukan PBB kontingen Garuda pernah di ikuti oleh anggotanya. Tidak sedikit yang harus meregang nyawa dan kembali ke haribaan diakibatkan penugasan di lapangan. Taman Makam Pahlawan Seroja di Timor-timur menjadi saksi bisu tubuh seorang Resimen Mahasiswa di semayamkan. Dari deretan kisa diatas bisa di tarik kesimpulan bahwa betapa penting dan elitenya posisi Resimen Mahasiswa pada saat zaman kejayaannya.
Reformasi kebablasan?
Tuntutan Reformasi di Indonesia menyeruak lantang kepermukaan dan seolah-olah menjadi gelombang dahsyat yang menenggelamkan serta menyeret siapa saja yang di terjangnya dan pada akhirnya mampu menurunkan Presiden sepuh saat itu yaitu Jenderal Besar (purn) Soeharto dari tampuk kekuasaannya. Tidak ada yang menyangka bahwa pemimpin yang dikenal dengan sebutan Smiling General itu akan turun dengan cara yang tragis. Kondisi politik mendadak merubah haluan, semua orang bereforia menyuarakan reformasi yang akhirnya berakibat pada berbondong-bondongnya kelompok kepentingan menyebrang haluan. Semua yang berbau Soeharto adalah penjahat dan patut di buang atau dihapus, lalu menwa bagaimana?. Betul sekali menwa mendapatkan gilirannya!. Serentak diseluruh Indonesia Menwa diminta di bubarkan demi alasan menuntaskan agenda reformasi. Mulai dari waktu itu menwa di preteli sampai hampir terhapus dari pentas sejarah Indonesia, perjuangan menwa pada saat itu begitu berat antara “hidup segan mati tak mau” menjadi istilah yang sangat pas menggambarkan carut marut nya kondisi pada saat itu. Menwa menjadi korban Reformasi kebablasan? Menwa pada awalnya adalah anak kandung cita-cita Revolusi Bung Karno, program mobilisasi umum perebutan Irian Barat merupakan ide Soekarno dan berimbas pada persiapan Resimen Serba Guna sebagai Corps Sukarelawan dan mempengaruhi menwa pada saat itu. Reformasi sesungguhnya adalah salah sasaran apabila menargetkan menwa sebagai organisasi yang harus di berangus dilihat dari asek sejarahnya dahulu.

Polemik dualisme organisasi yang sama-sama mencintai Menwa
Anggota menwa di manapun berada, adalah kader militan untuk mewujudkan cita-cita kesejahteraan bangsa. Reformasi telah mengkhawatirkan mantan-mantan menwa diseluruh Indonesia dimana regenerasi menwa menjadi terancam. Apabila regenerasi mati maka bisa dipastikan menwa akan bubar dengan sendirinya. Untuk itu tercetuslah sebagian kecil alumninya untuk membentuk organisasi yang di klaim merupakan lembaga tertinggi di Menwa yaitu Komando Nasional (konas) Menwa Indonesia yang dahulu tidak pernah sama sekali di kenali keberadaan dan landasan hukumnya. Dilain hal muncul pula lembaga tandingan yang mengclaim serupa sebagai organisasi Induk Menwa yaitu Korps Menwa Indonesia. Persamaan sekaligus perbedaan organisasi yang sama-sama militant terhadap menwa ini terletak pada landasan hukum. Dimana Konas di klaim sebagai komando pusat menwa Indonesia satuan-satuan organik/anggita aktif sebuah organisasi luar yang mampu menembus kewenangan universitas dalam struktur komando. Begitu pula Korps Menwa Indonesia yang terdaftar sebagai Organisasi Masyarakat (ormas) dipaksakan harus masuk menjadi lembaga mahasiswa yang melakukan kegiatan mahasiswa aktif di dalam kampus yang sudah jelas-jelas dilarang dan merupakan pelanggaran berat apabila organisasi dalam kampus berafiliasi kepada organisasi masyarakat apapun namanya. Dua organisasi yang didirikan oleh alumni ini baik Komando Nasional maupun Koprs Menwa Indonesia pada dasarnya baik adanya, yaitu adalah untuk mempertahankan eksitensi menwa, tetapi melihat perkembangan yang terjadi menjadi tidak mungkin bahwa menwa akan hancur diakibatkan konflik dualisme dan pembinaan regenerasi yang mulai diabaikan baik oleh Konas dan Korp, sebagai bukti pembinaan yang yang yang penulis claim tersendat adalah minimnya regenerasi “muka-muka baru” dalam dua organisasi ini, lebih mengutamakan konsolidasi anggota ‘sepuh’ dibandingkan dengan anggota ‘muda’ yang seharusnya merupakan asset berharga di masa depan apabila memang dua organisasi ini fokus kepada cita-cita pembinaan menwa.

Butuhnya Jalan Keluar
Menwa berada dipersimpangan jalan, menwa rawan pecah akibat dualisme, regenerasi tersendat, tantangan kampus semakin beragam dan anggota aktif yang memiliki motivasi tinggi semakin menyusut baik dari segi kemampuan dan kualitas mentalnya diakibatkan tidak dilibatkan dalam masalah-masalah strategis dan minim pembinaan. Lalu mau dibawa kemana menwa? Menwa berada di persimpangan jalan! Itulah istilah yang cocok menggambarkan keadaan real menwa sekarang.  Penulis berpendapat bahwa dibutuhkan sebuah jalan keluar untuk menyeret kembali Menwa pada jalurnya yang benar. Dan itu harus dimulai dari kemauan tulus semua pihak untuk mau berjalan kearah penyelesaian masalah. Energy sia-sia sudah di habiskan menwa selama ini. Konflik tidak produktif malah melemahkan pihak sendiri. Butuh kerelaan kedua belah pihak untuk mau mengarahkan organisasinya untuk pembinaan anggota yang merupakan kewajiban kita bersama untuk merealisasikan regenerasi dan itu butuh kerelaan semua untuk merealisisikan motto Widya Castrena Dharma Shida dan Panca Dharma Satya Menwa terutama point ke 5 yaitu mengutamakan kepentingan nasional diatas kepentingan pribadi maupun golongan. Penulis berpendapat yang bisa meyeleaikan permasalahan ini adalah anggota aktif yang merupakan inti kehidupan organisasi menwa, tiap satuan dan batalyon merupakan pemegang warisan organisasi ini dan yang harus memutuskan. Kita selalu senior dan alumni harusnya hanya mementori bukan mendikte. Selanjutnya sekarang kembali lagi kepada pertanyaan umum diatas, mau dibawa kemana menwa? Mau terus tersesat di persimpangan atau mulai memutuskan untuk bergandengan tangan dan mulai menemukan jawaban mau kearah mana sebenarnya kita mengarah sekarang? Berikan kepercayaan bahwa adik-adik penerus kita tidak kalah hebat kalau diasah kemampuannya dan diberikan kesempatan. Dan penulis 1000% sangat percaya itu bisa!. Tinggal mau atau tidak?

Penulis : Rizki Alamsyah H., S.IP ( NBP. 1091.08.44463 ) merupakan alumni Menwa Yon II Unpad


0 komentar:

Copyright © 2013 Resimen Mahasiswa Mahawarman Batalyon II Universitas Padjadjaran