A. Mahasiswa Berlatih
Krisis
politik pada tahun 1950 – an mencapai puncaknya pada 14 Maret 1957, yakni
ketika perdana Menteri Ali Sastroamidjojo secara resmi mengembalikan mandat
kepada Presiden, dan setelah itu Presiden Soekarno langsung menyatakan SOB atau
keadaan perang dan Darurat Perang untuk seluruh wilayah Republik Indonesia.
Kabinet Ali tidak berhasil mengatasi krisis politik yang bersumber dari
perlawanan elite sipil dan militer di beberapa daerah terhadap pemerintah
pusat.
Sementara
itu pemerintah pusat juga masih disibukkan dengan pemberontakan DI/TII yang
semakin menghebat. Gerakan Darul Islam yang bertujuan mendirikan negara Islam
Indonesia muncul pertama kali di Jawa Barat. Gerakan ini dipimpin Sekarmadji
Maridjan Kartosuwiryo, pendiri pesantren Suffah di Malangbong.
Kusus
untuk Jawa Barat, pemerintah juga berusaha memulihkan kondisi keamanan wilayah
ini karena fungsinya sebagai daerah penyangga ibukota Negara. Lebih – lebih
Di/TII Jawa Barat menunjukan peningkatan kekuatan yang mencemaskan
pemerintahan. Dalam kurun 1948 – 1949 DI/TII menguasai sekitar sepertiga
wilayah pedalaman Jawa Barat. Kemudian mencapai puncak kekuatannya dengan
sekitar 13.000 anggota dan 3.265 pucuk senjata pada tahun 1957.1
Upaya
pemulihan keamanan Jawa Barat berada di bawah tanggung jawab Panglima Daerah
Militer VI/ Siliwangi selaku penguasa Perang Daerah Jawa Barat. Dengan
kekuasaan sebagai penguasa Perang Daerah, Pangdam VI/ Siliwangi Kolonel R.A.
Kosasih mengeluarkan keputusan nomor kpts 40-2/5/1959 tanggal 13 Mei 1959
tentang program wajib latih kemiliteran bagi mahasiswa perguruan tinggi di Jawa
Barat.
Dalam
Sebuah pertemuan dengan sejumlah pimpinan perguruan tinggi di Bandung Pangdam
menjelaskan bahwa program wajib latih militer bagi mahasiswa bukan dimaksudkan
sebagai usaha pihak tentara untuk memiliterisasi mahasiswa. Melainkan semata
sebagai usaha meningkatkan kesadaran bela negara dan kewaspadaan nasional di
kalangan mahasiswa.
Penjelasan
tersebut secara tidak langsung untuk menjawab kecurigaan pihak – pihak di luar
tentara yang menganggap program tersebut sebagai langkah politik tentara untuk
meluaskan pengaruh di kalangan mahasiswa. Sejak peristiwa 17 Oktober 1952,
banyak pihak mencermati sikap politik tentara, khususnya Angkatan Darat yang
dimotori Jenderal A.H. Nasution. Dalam pidato pada ulang tahun pertama Akademi
Militer Nasional (AMN) 11 November 1958, Jenderal A.H Nasution yang saat itu
menjabat kepala Staf Angkatan Darat melontarkan sebuah konsep yang dinamakan
konsep “Front Lebar” atau “ Jalan Tengah”. Konsep tersebut menggambarkan sikap
tentara yang tidak akan mengambil kekuasaan, melainkan berpatisipasi dalam
pengambilan keputusan di semua tingkatan sebagai salah satu kekuatan yang turut
menentukan nasib bangsa. Terlebih setelah Jenderal A.H. Nasution membersihkan
Divisi Siliwangi sebagai kesatuan yang paling dapat dipercaya dengan
menempatkan perwira – perwira kesatuan yang paling dapat diperya, diantaranya
adalah Kolonel R.A. Kosasih.
Program wajib latih kemiliteran tersebut berlangsung
selama 20 minggu, di mulai sejak 13 Juni sampai dengan 14 September 1959 dengan
peserta latihan sebanyak 960 Mahasiswa dari Universitas Padjadjaran, Institut
Teknologi Bandung, Universitas Parahyangan, Akademi Pendidikan Jasmani, dan
Akademi PTT (Pos, Telegrap dan Telepon). Mereka disebar ke dalam 6 kompi
latihan dan ditempatkan di asrama Kiansantang di Jalan Tongkeng, Bandung.
Program
wajib latih mahasiswa Jawa Barat tesebut merupakan program latihan kemiliteran
bagi mahasiswa yang pertama kali diadakan di Indonesia sejak demobilisasi
pelajar dan mahasiswa pejuang pada awal tahun 1960-an. Program serupa diadakan
kembali pada tahun 1961 dalam rangka pembebasan Irian Barat (Trikora). Mahasiswa
yang pernah mengikuti Wajib Latih tahun 1959 dipanggil kembali untuk dilatih
ulang. Kali ini mereka dihimpun dalam organisasi Resimen Serba Guna Mahasiswa
Jawa Barat.
B. Mahasiswa Serba Guna
Masalah
wilayah Irian Barat yang tidak kunjung diserahkan kerajaan Belanda kepada
Republik Indonesia, memperkeras tuntutan nasional untuk membebaskan Irian
Barat. Tekad ini diwujudkan dalam berbagai tindakan, antara lain
menasionalisasi perusahaan milik belanda, pemutusan hubungan diplomatik dengan
Belanda pada 17 Agustus 1960, dan persiapan di bidang militer.
Upaya
persiapan di bidang militer diawali dengan penambahan persenjataan. Untuk itu
dibentuk sebuah misi militer di bawah pimpinan Menteri Keamanan Nasional/KSAD,
Jenderal A.H. Nasution, yang bertugas membeli senjata dari luar negeri. Pada
mulanya Indonesia ingin membeli senjata dari negara – negara barat, terutama
Amerika Serikat, tetapi mereka menolak menjual kepada Indonesia. Misi
dilanjutkan ke negara – negara komunis, terutama Uni Soviet pada Desember 1960.
Kali ini misi berhasil mengadakan perjanjian pembelian persenjataan dengan Uni
Soviet, dan memantapkan perjanjian tersebut pada tahun 1961.
Sementara
itu bidang politik pertahanan, MPRS menetapkan pertahanan rakyat semesta
sebagai sistem pertahanan nasional pada 3 Desember 1960. Ketetapan ini
dilatarbelakangi keadaan Angkatan Udara dan Angkatan Laut yang dinilai belum
mampu melakukan pertahanan garis depan untuk menghadapi invasi asing. Karenanya
Angkatan Perang harus melancarkan perang teritorial atau perang wilayah agar
jalannya perang dapat berlarut – larut hingga menguras tenaga musuh. Dalam
perang wilayah, Angkatan Darat merupakan unsur utama yang didukung oleh
Angkatan Udara dan Angkatan Laut.
Pada
19 Desember 1961 Presiden Sukarno mencanangkan Trikora dalam rapat umum di Alun
– Alun Utara, Yogyakarta, Trikora menandai dimulainya konfrontasi terhadap
kerajaan Belanda. Persiapan pertahanan negara, khususnya pembentukan Home –
Front yang kokoh merata segera dialakukan pemerintah dengan memperluas latihan
kemiliteran bagi warga sipil. Para mahasiswa pun tidak luput dari kewajiban
mengikuti latihan kemiliteran. Untuk itu Menteri Keamanan Nasional, Jenderal
A.H. Nasution mengeluarkan surat keputusan nomor MI/B/00307/1961 tanggal 30
Desember 1961 tentang usaha memperluas latihan ketangkasan keprajuritan
(kemiliteran) dalam rangka mempertinggi dan menggalang kewaspadaan nasional di
kalangan mahasiwa. Latihan kemiliteran bagi mahasiswa tersebut merupakan bentuk
pendahuluan dari program Wajib Latihan yang akan di atur di dalam Undang –
Undang Wajib Latihan.
Beban
pengelolaan latihan kemiliteran bagi mahasiswa tersebut dibagi antara
kementerian Keamanan Nasional dan TNI. Untuk pembiyaan latihan dibebankan
kepada Menteri Keamanan Nasional, sedangkan pelaksanaan latihan berada dalam
tanggung jawab Angkatan Darat.
Untuk
melaksanakan Keputusan Menteri Keamanan Nasional tersebut di Jawa Barat,
Pangdam VI/Siliwangi, Brigadir Jenderal Ibrahim Adjie selaku Penguasa Perang
Daerah Jawa Barat mengeluarkan surat keputusan nomor Kpts : 04-7/1/PPD/1962
tanggal 10 Januari 1962.11 isi pokoknya antara lain, (1) perintah kepada semua
dekan dan pimpinan universitas, perguruan tinggi, dan akademi pemerintah maupun
swasta di Jawa Barat untuk membentuk Resimen Serba Guna Mahasiswa, dan (2)
perintah kepada Presiden (Rektor) Universitas Padjadjaran untuk mengoordinasi
usaha – usaha pembentukan Resimen Serba Guna Mahasiswa tersebut selekas
mungkin, dan melaporkan hasil pembicaraan koordinatif tersebut kepada penguasa
Penguasa Perang Daerah Jawa Barat pada 1 Febuari 1962.
Selain
itu Pangdam VI/Siliwangi mengeluarkan surat perintah nomor SP.237/1962 tanggal
13 Januari 1962 kepada Kapten Ojik Soeroto. Isinya adalah perintah penugasan
sebagai Komandan Batalyon I Resimen Serba Guna Mahasiwa terhitung mulai 1 Juli
1962. Pada 20 Januari 1962 Rektor Universitas Padjadjaran membentuk sebuah
badan koordinasi bernama Badan Persiapan Pembentukan Resimen Serba Guna
Mahasiswa Daerah Militer VI/Siliwangi. Susunan keanggotaan badan koordinasi
tersebut sebagi berikut : Rektor Universitas Padjadjaran, Prof. Drg. R.G.
Soeria Soemantri sebagai koordinator, Pembantu Rektor Institut Teknologi
Bandung, Dr. Isrin Nurdin sebagi Wakil Koordinator 1, Pembantu Rektor
Universitas Parahyangan, Drs. Koesdarminto sebagai Wakil Koordinator II, dan
Mayor Mochammad Soenarman dari Pusat Psikologi Angkatan Darat sebagi
sekretaris.
Pada
awal Febuari 1962 Badan Persiapan Pembentukan Resimen Serba Guna Mahasiswa
Daerah Militer VI/Siliwangi melaporkan hasil kerjanya kepada Pangdam. Setelah
itu Pangdam mengeluarkan surat keputusan nomor Kpts: 07-2/2/PPD/1962 tanggal 9
Febuari 1962 tentang petunjuk pelaksanaan pembentukan Resimen Serba Guna
Mahasiswa, yang intinya membagi realisasi pembentuk Resimen Serba Guna Mahasiwa
dalam dua bidang.
Sejalan
dengan proses seleksi calon kader, Kapten Ojik Soeroto mengumpulkan data
mahasiwa yang pernah mengikuti program Wajib Latih tahun 1959. Mereka akan
diwajibkan mengikuti refreshing course (latihan ulangan) dan tambahan. Dari
pendataan tersebut diketahui bahwa mahasiswa mantan peserta Wajib Latih tahun
1959 di Kota Bandung dahulu berjumlah 960 orang, kini tersisa 320 orang karena
sebagian dari mereka telah menyelesaikan pendidikannya tay pindah ke luar kota
Bandung.
Mulai
Febuari 1962 para mantan Wajib Latih 1959 tersebut menjalani latihan ulangan
selama 10 Minggu, disambung dengan latihan tambahan selama 14 hari yang dikenal
dengan sebutan latihan “Pasopati”. Latihan ulangan dan tambahan tersebut
diselenggarakan oleh Rinif Daerah Militer VI/Siliwangi di sebuah tempat
pendidikan infantri di daerah Bihbul, yang terletak di sebelah timur Kota
Bandung, dipimpin Komandan Latihan, Kapten Mangemis yang memimpin sebuah kompi
pelatih.
Penutupan
latihan dilakukan pada 20 Mei 1962 oleh Pangdam VI/Siliwangi yang sekaligus
melantik peserta latihan sebagi anggota Resimen Serba Guna Mahasiswa Jawa Barat
sebagai bagian organik dari kodam VI/Siliwangi.
Kapten
Ojik Soeroto memimpin Batalyon I Resimen Serba Guna Mahasiswa yang terdiri dari
empat kompi. Kompi 1 dan II beranggotakan mahasiswa Istitut Teknologi Bandung,
Kompi III beranggotakan mahasiswa Universitas Padjdjaran, dan Kompi IV
beranggotakan mahasiswa Universitas Parahyangan dan akademi negeri. Dalam kompi
– kompi tersebut, semua jabatan mulai dari wakil komandan regu sampai komandan
kompi diisi oleh mahasiswa.
Setelah
disusun pula kompi – kompi pelatih untuk melatih anggota batalyon – batalyon
mahasiswa pertahanan sipil. Hal ini mencerminkan kepercayaan pemerintah
terhadap kemampuan anggota Resimen Mahasiswa untuk menjelaskan pelatihan dasar
– dasar kemiliteran bagi sesama mahasiswa.
C. Mahawarman
Sejak
pembentukannya Resimen Serba Guna Mahasiswa Jawa Barat belum mempunyai
identitas khas korps. Karena itu muncul keinginan di kalangan anggota Resimen
Serba Guna Mahasiswa Jawa Barat untuk memiliki lambang kehormatan dan
kebanggaan kesatuan untuk memperkuat semangat korps. Lambang – lambang tersebut
diperlukan untuk menumbuhkan ikatan lahir dan batin di antara anggota Resimen
Serba Guna Mahasiswa Jawa Barat. Kemudian diajukanlah usulan nama dan rancangan
dhuaja ( bendera ) Resimen Serba Guna Mahasiswa Jawa Barat kepada Menko
Hankam/KASAB Jenderal A.H. Nasution. Usulan tersebut diterima, yang ditandai
dengan keluarnya keputusan Menko Hankam/KASAB No. M/B/86/64 tanggal 12 Juni
1964 tentang pengesahan Dhuaja Resimen Mahasiswa Jawa Barat. Pada Dhuaja Resimen Mahasiswa Mahawarman
lambang Mahawarman terletak di satu sisi, dan sisi lainnya terletak lambang
Kodam Siliwangi. Dalam Appel besar di lapangan Gasibu Bandung untuk
memperingati hari jadi Resimen Serba Guna Mahasiswa Jawa Barat pada 13 Juni
1964, sengaja mengambil tanggal 13 Juni sebagai tanggal peristiwa bersejarah
program Wajib Latih Mahasiswa tahun 1959, Menko Hankam/KASAB Jenderal A.H. Nasution
didampingi Menteri PTIP Prof. Ir. Thojib Hadiwidjaja dan Pangdam VI/Siliwangi
Brigadir Jenderal Ibrahim Adjie, meresmikan penggunaan nama “Resimen
Mahawarman” sebagai nama Resimen Mahasiswa Jawa Barat, dan menyerahkan langsung
Dhuaja Resimen Mahawarman kepada Komandan Batalyon I Resimen Mahasiswa Jawa
Barat, Kapten Ojik Soeroto.
Proses
penciptaan nama Mahawarman yang bersifat bottom
– up memperlihatkan bahwa organisasi Resimen Mahasiswa bercorak grassroot, tumbuh berkembang dari dan
oleh mahasiswa sendiri. Selain peresmian nama Mahawarman dan penyerahan dhuaja,
dalam appel tersebut juga dilakukan pengucapan janji Resimen Mahasiswa
Mahawarman. Berikut ini adalah isi selengkapnya janji tersebut dengan penulisan
mengikuti ejaan aslinya. Dalam Musyawarah Kerja 1 Resimen Mahasiwa Mahawarman
yang berlangsung pada 12 sampai dengan 20 September 1966 dilhirkan “Panca
Dharma Satya” sebagai ikrar Resimen Mahasiswa Mahawarman.
Sejak pembentukannya Resimen Serba Guna
Mahasiswa Jawa Barat belum mempunyai identitas khas korps. Karena itu muncul
keinginan di kalangan anggota Resimen Serba Guna Mahasiswa Jawa Barat untuk
memiliki lambang kehormatan dan kebanggaan kesatuan untuk memperkuat semangat
korps. Lambang – lambang tersebut diperlukan untuk menumbuhkan ikatan lahir dan
batin di antara anggota Resimen Serba Guna Mahasiswa Jawa Barat. Kemudian
diajukanlah usulan nama dan rancangan dhuaja ( bendera ) Resimen Serba Guna
Mahasiswa Jawa Barat kepada Menko Hankam/KASAB Jenderal A.H. Nasution.
Usulan tersebut
diterima, yang ditandai dengan keluarnya keputusan Menko Hankam/KASAB No.
M/B/86/64 tanggal 12 Juni 1964 tentang pengesahan Dhuaja Resimen Mahasiswa Jawa
Barat. Pada Dhuaja Resimen Mahasiswa
Mahawarman lambang Mahawarman terletak di satu sisi, dan sisi lainnya terletak
lambang Kodam Siliwangi. Dalam Appel besar di lapangan Gasibu Bandung untuk
memperingati hari jadi Resimen Serba Guna Mahasiswa Jawa Barat pada 13 Juni
1964, sengaja mengambil tanggal 13 Juni sebagai tanggal peristiwa bersejarah
program Wajib Latih Mahasiswa tahun 1959,
Menko Hankam/KASAB
Jenderal A.H. Nasution didampingi Menteri PTIP Prof. Ir. Thojib Hadiwidjaja dan
Pangdam VI/Siliwangi Brigadir Jenderal Ibrahim Adjie, meresmikan penggunaan
nama “Resimen Mahawarman” sebagai nama Resimen Mahasiswa Jawa Barat, dan
menyerahkan langsung Dhuaja Resimen Mahawarman kepada Komandan Batalyon I
Resimen Mahasiswa Jawa Barat, Kapten Ojik Soeroto.
Proses
penciptaan nama Mahawarman yang bersifat bottom
– up memperlihatkan bahwa organisasi Resimen Mahasiswa bercorak grassroot, tumbuh berkembang dari dan
oleh mahasiswa sendiri. Selain peresmian nama Mahawarman dan penyerahan dhuaja,
dalam appel tersebut juga dilakukan pengucapan janji Resimen Mahasiswa
Mahawarman. Berikut ini adalah isi selengkapnya janji tersebut dengan penulisan
mengikuti ejaan aslinya. Dalam Musyawarah Kerja 1 Resimen Mahasiwa Mahawarman
yang berlangsung pada 12 sampai dengan 20 September 1966 dilhirkan “Panca
Dharma Satya” sebagai ikrar Resimen Mahasiswa Mahawarman.
Sekarang
saya berbicara status Resimen Mahasiswa di zaman reformasi, setelah peristiwa
penggulingan pemerintahan Orde Baru, mahasiswa di Indonesia memiliki sikap
traumatis terhadap apa namanya militer, sebagian mahasiswa menganggap bahwa Resimen
Mahasiswa bagian dari militeris mini yang ada di dalam kampus, dan menuntut
pula agar Resimen Mahasiswa ini di tiadakan di dalam kampus. Bahkan statusnya
sebagai komponen cadangan di bekukan, di zaman reformasi ini status Resimen
Mahasiswa seperti mahasiswa biasa lainnya yang langsung di bawahi oleh
universitas dan bukan lagi sebagai komponen cadangan.
D. Terbentuknya Batalyon
II/Unpad
Mahasiswa Unpad yang telah
menerima pendidikan walawa pada tahun 59 dan latihan pembentukan di Rinif tahun
62 berinisiatif untuk melaklukan penambahan anggota agar bisa menjadi batalyon
yang saat itu masih menjadi Kompi III.
Tanggal 11 November 1964 diadakan penggabungan kader dari fakultas
kedokteran dengan fakultas lain kedalam satu kompi, peristiwa itu dijadikan
awal terbentuknya Resimen mahsisawa
Batalyon II Universitas Padjadjaran.
Sumber : Susilowati, Wahyuni. 2012. Patriotisme dan Dinamika Resimen Kampus. Bandung : Nuansa Cendekia.
Sumber : Susilowati, Wahyuni. 2012. Patriotisme dan Dinamika Resimen Kampus. Bandung : Nuansa Cendekia.
0 komentar: